Laman

Senin, 28 Desember 2009

ABORSI: OBROLAN JAM MAKAN SIANG



Waw!

Begitu kata pertama ketika saya membaca berita on-line hari ini. Kasus yang sudah bertahun-tahun saya amati. Bukan dari media massa semata. Tapi ini nyata. Bukan dongeng, sinetron, atau berita di TV. Ini yang membuat saya miris. Saya manusia, saya punya kekuatan untuk berkehendak, saya bisa melakukannya dengan organ-organ yang dirangkai oleh Tuhan. Apa hak yang paling hakiki di dunia? Hak Hidup. Kita memperjuangkan hak hidup kita bukan? Tapi, bagaimana untuk yang belum “mampu” untuk mempertahankan hidupnya? Bagaimana untuk benih-benih yang terbuang karena ketidak mampuan orang lain untuk mengerti sebuah tanggung jawab?

Aborsi. Itulah yang terus berputar-putar dalam otak ini. Saya benci menulisnya. Karena saya jijik. Bukan ingin meludahi benih-benih itu. Tapi meludahi sifat manusia yang hanya mementingkan ego semata. Manusia sebagai pelaku. Aborsi bagi saya bukan hanya pelarian dari sebuah tanggung jawab, tapi sudah merupakan tindakan seseorang merampas hak hidup orang lain. Mahluk yang belum mampu memperjuangkan hak dirinya sendiri. Hak dasar manusia. Saya bukan membicarakan tindakan aborsi dalam arti karena alasan yang fatal. Misal: Penyakit, Pasutri yang mungkin serba keterbatasan dengan jumlah anak yang melebihi. Ironisnya, pasangan muda mulai melegalkan sendiri tindakan itu bak minum obat ketika sakit flu, demam, atau diare. Berbuat, aborsi, Kelar!

Sebenarnya jumlah praktek aborsi sulit untuk dihitung karena praktek aborsi banyak pula yang tidak terlaporkan. Kalau menurut info yang saya baca, Jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,5 Juta pertahunnya. Jika merujuk pada perkiraan BKBN terapat dua juta nyawa yang terbuang sia-sia. Di Cina, jumlah pelaporan untuk kasus aborsisetahunnya hingga mencapai 13 juta. Data statistik di Amerika, yang dikumpulkan oleh dua badan utama, yaitu Federal Centers for Disease Control (CDC) dan alan Guttmacher Institute (AGI) menunjukkan bahwa hampir dua juta jiwa (melebihi dari jumlah nyawa yang terbunuh dalam perang manapun. Menurut Jamer K Glassesman dari The Washington Post tahun 1996, jumlah kematian akibat aborsi 10x lipat dari jumlah kecelakaan manapun ditambah kasus bunuh diri dan pembunuhan. Secara keseluruhan, diseluruh dunia, aborsi merupakan penyebab kematian yang lebih utama dibandingkan penyakit jantung maupun kanker.

Sejenak saya menghela nafas. Sedikit mengingat memori ketika dua tahun yang lalu. Seorang teman saya bercerita bahwa dia dilanda ketakutan yang mungkin dibawanya hingga akhir hayat. Ketakutan tidak memiliki anak dalam hidupnya. Ketakutan setelah menyia-nyiakan tiga nyawa. Ya, bukan satu, tapi TIGA! Sebenanya hanya dua kali, tetapi untuk yang kedua kalinya dia membunuh dua janin sekaligus. Ternyata baby-nya kembar. Uh, so sweet.. bayangan bayi itu seakan-akan muncul di kepala ini. Bayi kembar yang mungil. Yang diberi nama: Queen dan Diva. Tapi sekejap bayangan itu pun menjadi abu-abu. Impian itu hanya ilusi dialam bawah sadar. Teman saya itu harus dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang lemah akibat pendarahan yang dialaminya. Waktu itu berlalu cepat. Saya kembali ke dunia nyata. Berpulang dari perjalanan memori masa lalu dengan mendengar kabar yang entah baik atau buruk(bisa dipersepsikan sendiri). Dia putus dengan pacarnya. Pacarnya yang sudah memberi tiga benih dan lalu memusnahkannya. Kekasihnya yang akhirnya kini telah menempuh hidup baru dengan yang lain. Kabar teman wanita sayapun kini telah menguap. Entah dimana dia sekarang.

Itu hanya satu contoh kasus. Kasus nyata yang dialami orang yang pernah dekat dalam kehidupan saya. Sahabat ketika sama-sama berjuang hidup di kota perantauan. Contoh satu KEBODOHAN yang harusnya tidak perlu ada lagi. Memang itu hukumnya dosa. Jelas dan mutlak. Agama sudah jelas menyuarakan. Tapi bukan itu yang saya maksud. Saya malas mengoceh tentang dosa (karena saya pun bukan manusia suci). Dosa bersifat sangat pribadi. Antara manusia dengan Tuhannya. Tapi ini lebih kepada nilai. Nilai moral seorang manusia. Manusia yang harus menghargai yang lainnya. Kalau memang tidak mau bertanggung jawab, jangan melakukan. Kalau pun tidak bisa memendam hasrat, cobalah “bermain dengar pintar dong”. Setidaknya jangan sampai “memaksa” mahluk lain membayar tindakan yang kita perbuat. Unfair! Merampas hak hidup mahluk yang seharusnya dia dapatkan. Hak dasar manusia yang belum mampu dia perjuangkan. Karena dia belum bisa bernafas, dia belum bergerak, dia belum bicara. Tapi dia zat awal seorang manusia. Dia sudah “ada”. Mengapa tidak menjadikan “ada” sebelum “ada” itu datang (Sampai disini iklan kontrasepsi boleh numpang lewat).

Realitas yang terjadi membuat kita sepertinya bisa peduli lebih jauh lagi. Bukan hanya virus flu burung saja yang perlu diperhatikan. Ini sudah merupakan virus kematian. Virus yang justru diciptakan manusia. Menyebar ke setiap lapisan masyarakat (sudah ada di kota dan di desa: BAHAYA!). Saya sendiri kebingungan bagaimana memberi pemahaman tanpa unsur men-judge. Mungkin omongan seperti ini dianggap membosankan bagi sebagian orang. Seperti nasehat guru SD saat upacara bendera. Saya tidak menggurui, tapi saya bercerita

Mimpi dalam Gulungan Kertas


Jakarta, 28 Desember 2009

Tumpukan sampah itu sudah meluap melebihi wadah yang menahannya

Semuanya adalah gulungan kertas yang berisi harapan yang terdahulu

Setiap mimpi tertulis dalam kertas-kertas itu

Sehabis kutulis lalu kugulung dan kulemparkan ke bejana sampah

Satu demi satu mulai memenuhi ruang yang semula kosong

Hingga kini akhirnya ruang itu sudah tak bisa dianggap kosong

Padat!

Tahukah apa yang tergores dibalik gulungan kertas itu?

Goresan-goresan itu adalah keinginan hati yang terdahulu

365 hari menghasilkan lebih dari 365 mimpi

Seperti tak berguna jika sebuah mimpi hanya berakhir di atas bejana sampah

Seperti tak mau menghidupkan apa yang dianggap hanya sebuah bunga tidur

Tak perlu hidup jika memang tidak punya mimpi

Mimpi adalah penentu tujuan, bukankah hidup perlu tujuan?

Untuk apa mimpi hanya untuk dilempar

Lalu dibuangnya jika sudah penuh

Tapi tidak semua mimpi

Yang diatas bejana sampah itu hanya mimpi yang irrasional

Tapi bukankah mimpi itu tak mengenal rasional dan irrasional?

baiklah, saya koreksi

Mimpi-mimpi disana hanyalah mimpi irrasional yang memang belum sempurna

Hanya karangan dalam lembaran blue print

Mimpi yang terpilih sedang duduk manis di dalam laci

Mereka dengan sabar menungu giliran tuannya memanggil

(Bukan yang seperti di tumpukan benjana itu)

Resolusi 2010

Kisah "Avatar" dalam Kehidupan Nyata


Sudahkah anda menyaksikan film “Avatar”? Film garapan James Cameron yang berdurasi 161 menit dengan dana US$300juta. Sutradara yang juga 12 tahun ynag lalu sukses dengan Titanic-nya, kini membuat film bergenre fiksi ilmiah dengan Avatar-nya. Diceritakan tentang suatu planet bernama Pandora yang berjarak 5 tahun cahaya dari Bumi. Planet ini mempunyai penduduk asli yang dinamakan Na’vi atau yang dijuluki monyet biru. Film yang berlatar belakang tahun 2154 ini mengisahkan bumi yang sudah kehabisan sumber daya alam, sehingga perusahaan multinasional menciptakan pertambangan di planet Pandora.
Sesungguhnya film ini kental juga dengan nuansa dramanya. Tetapi bukan kisah cinta Jake (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saidana) yang akan saya uraikan. Saya hanya ingin mengisahkan ulang film Avatar dalam konteks kehidupan nyata dengan sudut pandang segi kemanusiaannya. Film ini merupakan perang bangsa manusia Bumi dengan penduduk Na’vi. Kehidupan bangsa Na’vi yang memang penduduk asli disana semula hidup harmonis dengan alam. Tiba-tiba kehidupannya terancam karena kepentingan mahluk Bumi. Layaknya bangsa primitif, bangsa Na’vi mempercayai alam memang sesuatu yang hidup yang mereka puja dan pelihara. Manusia (mahluk asing bagi bangsa Na’vi) berkehendak merampas alam dengan merusaknya. Karena merasa mempunyai kepentingan dan kekuatan, yang merupakan mesin-mesin dan persenjataan modern, manusia merasa berhak melakukan apa yang dikehendakinya. Dengan seenaknya manusia menghancurkan pula pohon yang dianggap keramat dan sakral bagi mereka. Padahal alam merupakan tempat tinggal mereka bersama jiwa nenek moyangnya. Ketika menyaksikan ceritanya di bagian ini, saya merasakan manusia memang kejam dalam film tersebut.
Kemudian terlintas di benak saya mengenai Bumi kita sendiri. Jangan jauh-jauh membicarakan negeri orang, cobalah tengok ke negeri sendiri. Apa bedanya planet Pandora dengan Indonesia sebelumnya. Divisualisasikannya keindahan alam di Pandora, kemudian penduduk yang amat memujanya alam tersebut sehingga dianggap terdapat “ruh” di alam itu sendiri. Bukankah cerita tersebut seperti Indonesia pada zaman dahulu.
Pendapat saya, perang antara Manusia vs Na’vi dapat dicontohkan seperti Freeport vs Pribumi Papua. Bukankah kita semua tahu bagaimana eksploitasi yang dilakukan Freeport di bumi Papua? Penduduk pribumi yang sebenarnya orang yang menduduki wilayah tersebut secara turun menurun seakan-akan harus tersingkir di tanahnya sendiri. Alam yang sebenarnya merupakan milik mereka, tapi dirampas dengan semena-mena oleh bangsa lain. Bahkan dieksploitasi besar-besaran. Sebenarnya mengertikah kita tentang hakikat alam bagi mereka? Kaum pribumi (atau kita menyebutnya bangsa primitif) adalah penganut animisme yang masih menyembah kepada ruh nenek moyang yang terdapat yang berada dalam alam. Pohon dianggap sakral karena disanalah tempat mereka berkomunikasi terhadap “sang penguasa”. Mereka percaya ruh dan jiwa itu ada, alam itu bernyawa, memperlakukan tumbuhan dan hewan selayaknya bagian dari mereka. Itulah kepercayaannya, yang di anggap “Tuhan” bagi mereka. Tempat mereka hidup dan beribadat adalah alam. Dengan membabat habis hutan sama saja menginjak-injak Tuhan bagi mereka. Ternyata sakit hati itu bukan hanya sesuatu yang bersifat materi, tetapi juga yang tak terlihat. Bukan hanya makanan dan tempat tinggal mereka yang dirampas (itu saja sudah kejam), tetapi juga tempat peribadatan mereka, sesuatu yang mereka percaya sebagai kekuatan. Bagaimanakah jika kita diposisi mereka? Jika peribadatan kita dihancurkan? Jika kitab suci kita diinjak-injak? Walaupun itu memang sesuatu yang primitif tapi mereka lebih tahu caranya terima kasih terhadap apa yang sudah mereka jadikan tempat makan, bernafas,dan berkehidupan.
Kita juga masih mempunyai hutan yang terbentang dari sabang hingga marauke. Lautan yang terbentang yang diapit dua samudra besar di dunia. Jangan pula lupa bahwa kita punya alam dan juga MAHLUK YANG HIDUP DI DALAMNYA. Jangan sampai manusia “memakan” manusia atau manusia yang lupa akan caranya berterima-kasih. Cobalah manusia hidup dan bertindak sesuai akal sehat dan hati nurani (padahal Tuhan sudah ciptakan manusia dengan seperangkat akal sehatnya). Setidaknya marilah kita selamatkan terhadap apa yang masih bisa kita selamatkan. Akankah cerita ini bisa seperti film Avatar yang berakhir bahagia dengan sang jagoan yang akhirnya menang? (setelah banyak korban yang berjatuhan). Mari kita buat “skenario”nya dari sekarang!

Infotaiment: My Breakfast, Lunch, Dinner

Bekasi, 26 Desember 2009

Dewasa ini jadwal tayangan Infotaiment ada disetiap saat. Sudah menjadi syarat hampir di semua stasiun televisi. Saya mengistilahkan Infotaiment sebagai makanan. Dikonsumsi dari pagi hingga malam. Saya pun tidak munafik untuk mengatakan pernah menjadi konsumen Infotaiment. Pagi hari, sarapan saya sudah disajikan dengan kisruh rumah tangga selebriti. Walaupun bukan hal yang menyenangkan, tapi ya memakannya seakan makanan yang sangat lezat. Tanpa terasa hari sudah siang. Saya pun sudah berada di kantor. Jadwal makan siang sudah tiba. Ternyata saya harus memakan makanan yang saya makan tadi pagi. Tapi, baiklah saya makan. Setidaknya lumayan buat pengganjal perut. Ketika sore hari, kembali saya mengkonsumsi makanan yang sama. Hanya bedanya, dikemas dalam bentuk Investigasi. Mensejajarkan gossip dengan berita yang sangat penting seperti pidato presiden tentang kebijakan kenaikan BBM. Saat bersantai di malam hari, makanannya masih sama. Kalau hari itu menceritakan kisruh rumah tangga artis tertentu, maka seharian tanpa sadar kita menyaksikan tayangan yang di ulang-ulang.
Satu bulan kemudian si artis ternyata jadi bercerai. Wah sepertinya semakin nikmat disantap saja. Hari demi hari berlalu. Yang jadi “artis” bukan hanya si artisnya sendiri, tetapi pengacaranya, ibunya, kakaknya, bahkan selingkuhannya (kalau ada). Ternyata ketika resmi bercerai tetap saja bisa jadi berita. Masih saja ditanya apakah ada kemungkinan rujuk? Akhirnya si artis punya pasangan, lalu mantan pasangannya ditanyai komentarnya tentang hal ini. “Jaka sembung bawa golok …… ” dong kalau begitu (tidak perlu saya lanjutkan istilah diatas.
Karena penayangan yang terus-terusan, maka semua kalangan sepertinya sangat tahu tentang kehidupan artisnya. Merasa sangat tahu tentang kehidupan seseorang hanya dari tayangan yang dia konsumsi setiap harinya. Tahu karena media. Efek media memang dapat membentuk opini publik. Lalu bagaimana jika pemberitaannya keliru? Itu namanya pembodohan terhadap publik. Ketika masih mengalami masa kuliah (semester awal), salah satu dosen pengantar jurnalistik mengatakan:”Jurnalistik mempunyai proses kerja yang berdasarkan kode etik. Keakuratan suatu fakta amat sangat penting. Jika kalian menganggap Infotaiment itu bagian Jurnalistik, itu salah besar. Bapak pernah melihat prosesnya. Ternyata Infotaiment bak sinetron yang sudah ada skenarionya”. Pernyataan dosen itu menyadarkan saya bahwa selama ini saya memakan makanan yang berbeda dengan kemasannya. Bahkan penipuan. Makanan yang selama ini saya kira semur ayam, ternyata hanya semur jengkol yang pahit dan bau (walaupun sebagian orang menyukainya).
Gambaran diatas mengingatkan saya terhadap pengaruh komunikasi peluru ajaib” (bullet theori). Dalam teori ini individu-individu dipercaya sangat dipengaruhi langsung dan secara besar oleh media, karena media dianggap sangat berkuasa dalam membentuk opini publik. Kekuatan Infotaiment sangat besar, tayangannya “menyerang” masyarakat bak jadwal makan, ada makan pagi, siang, sore, hingga malam. Efeknya terhadap masyarakat pun sangat kuat. Jika salah-salah menayangkan suatu pemberitaan, maka sama saja menyuguhkan racun kepada masyarakat. Tanggung jawab produsen makanan Infotaiment itu amat besar. Ini bukan hanya suatu tontonan, tetapi doktrin yang memiliki efek yang kian dahsyat. Hampir semua kalangan menyaksikan. Bahkan anak SD saja membicarakan perceraian selebritis disela-sela jadwal istirahatnya. Memang efek Infotaiment memang super dahsyat. “Mendewasakan” apa yang masih belum dewasa.
S ekarang semua dikembalikan kepada individunya. Apakah kita termasuk orang-orang yang selektif memilih “makanan” yang kita konsumsi? Dan jika saya boleh bermimpi, seandainya saja produsen “makanan” itu bertindak sedikit elegan dan bermoral. Buatlah makanan yang bermutu, bukan hanya sekedar laku dijual. Jika yang jadi alasan karena urusan perut, semua orang juga banting tulang untuk makan. Alangkah indahnya jika kita makan dari sesuatu yang berkah. Kalian sudah memiliki “power” maka jadikanlah kekuatan itu untuk memberi yang bermutu untuk masyarakat. Kerja memang susah. Semua orang juga melalukan upaya untuk hasil yang terbaik. Fakta memang harus dicari, bukan direkayasa sendiri. Jika membicarakan agama, anak kecil juga tahu bahwa berbohong itu dosa. Dan kalian pun tidak ingin disebut pembohong, bukan?

Minggu, 27 Desember 2009

Ini Hari Kita Anakku


Jakarta, 23 Desember 2009

Anakku, anak yang kucintai. Yang baru saja pandai berjalan. Mungkin engkau belum mengerti apa yang dimaksud hari ibu. Hari ini setiap orang sedang mengucapkan terimakasihnya untuk ibu-ibu mereka. Tapi di hari ibu ini, aku yang mengucapkan selamat untukmu. Mungkin ini terdengar cukup aneh. Tapi ini kenyatannya anakku. Ibu akan berkisah tentang hadirmu. Ketika mengandungmu dulu, ibu sangat kepayahan. Sakit sekali wahai anakku. Tapi itulah awalnya.

Disamping kebahagiaan-kebahagiaan yang ibu rasakan, sering juga ibu menangis. Tahukah kamu, kamulah teman curhat ibu saat hari-hari ibu mengandung. Walaupunsedang berbadan besar, ibu setiap harinya mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Target ibu pada saat itu adalah menyelesaikan tugas akhir ibu untuk bisa mendapat gelar sarjana. Ibu ingin saat kamu lahir, kamu tidak terlahir dari wanita yang hanya lulusan sma. Biar kamu tidak dikucilkan oleh teman-teman kamu. Karena hanya itu yang bisa ibu lakukan untukmu. Saat kamu mulai membesar di perut ini, ibu mengajukan usulan masalah untuk skripsi ibu. Ibu berjalan langkah demi langkah menuju gerbang kesuksesan dan itu disertai kamu. Terkadang matahari menyorot langkah kita dengan terik. Terkadang pula hujan yang membasuh keringat kita. Dosen ibu pun sampai berkata, “Sudahlah nak. Kamu ambil cuti!”. Ibu masih tak gentar, namun pada akhirnya memang ibu ambil cuti hingga melahirkan kamu. Memang kamu pun sudah 9 bln di perut ibu.

Sepulangnya ke rumah, ibu tak bisa tidur sebelum mencarikan nama untukmu. Entah sudah berapa nama yang nyaris ibu rangkaikan untuk kelahiranmu. Hingga akhirnya ibu terlelap. Setiap malam ibu merasakan pergerakkanmu. Ternyata kamu gemar sekali bergadang, anakku. Ibu pun mengalah untukmu. Bagi ibu, tidak mengapa. Kamu pun sering ibu usik dengan tangisan-tangisan ibu. Keluh kesah ibu saat ibu menghadapi dunia. Saat ibu mengalami masa-masa yang kurang menyenangkan, bahkan sangat tidak menyenangkan. Menyakitkan! Maafkan jika ayahmu dari tadi belum terdengar. Ibu sulit memasukkan dia dalam cerita ini dari bagian mana. Ayahmu memang sepertinya menyayangimu dan ibu ketika itu. Tetapi dia tidak bisa selalu bersama kita. Entah apa yang dilakukan, mungkin satu dalam seminggu baginya cukup untuk menemani kita. Ibu masih ada sisa tabungan dari kakekmu sebagai uang jajan ibu ketika kuliah dulu. Tabungan yang sedikit demi sedikit menipis karena terakhir terisi ketika ibu menikah dengan ayahmu.

Apakah kamu tahu isak tangis ibu setiap malam? Bukan hanya malam, tetapi kadang pagi, siang, sore. Untung saja saat kamu terlahir bukan dari keadaan menagis. Yang menguatkan ibu pada saat itu adalah nenekmu. Wanita yang melahirkan ibu dan pada saat itu dia pun membantu ibu untuk melahirkanmu. Digenggamnya jemari ibu untuk memberikan energi agar kuat dalam bertaruh nyawa ketika melahirkanmu. Ibu mengambil nafas sedalam-dalamnya dan akhirnya ibu melihat sosok mungil yang selama ini telah menjadi sahabat ibu. Sosok mungil yang dari tangisannya yang nyaring seakan-akan memberi tahu ibu bahwa kamu adalah lelaki gagah yang akan menjaga ibu. Ibu sangat teharu, tetapi tidak bisa banyak bergerak. Perjuangan ibu belum berakhir, anakku. suster-suster itu sedang menjahit bagian tubuh ibu yang paling menyakitkan. Maaf, sekali lagi ayahmu tidak ibu sebutkan. Ayahmu datang ketika tujuh jam ibu sudah melahirkanmu.

Ternyata memang sulit untuk menyesuaikan diri ketika kau terlahir. Kini, ibu harus terjaga di setiap malam. Setiap jam kau terjaga untuk meminta air susu, belum lagi kau masih belum bisa mengganti popok sendiri saat buang air. Bisa terlelap selama dua jam saja rasanya sudah sangat cukup bagi ibu kala itu. Ibu tertidur tidak dalam keadaan terlentang. Ibu duduk sambil memangkumu di atas paha dalam keadaan terpejam. agar saat kau menangis, ibu tidak membiarkanmu berlama-lama mendapatkan susu. Kasihan jika kamu sampai menangis terlalu lama. Apalagi tidak ada tangan seorang ayah yang turut memangkumu atau membantu ibu menggantikan popok untukmu. Lagi-lagi ayahmu disebut belakangan. Dia jarang sekali bersama kita. Dari saat kamu melahirkan, dua bulan lamanya baru dia datang kembali. Sampai saat itu tidak terdengar lagi. Kadang muncul sejam dan itu terjadi 2 bulan sekali.

Mata ini sangat berat. Tetapi pikiran ibu yang lebih berat. Melihat tangan mungilmu yang tertancap jarum infus membuat ibu perih. Apalagi ketika kau menangis kesakitan ketika sakit itu muncul. “Masih ada ibu, anakku” bisikku. Disini aku terjaga siang dan malam untuk menguatkanmu. Walau pikiran ibu ketika itu sering kemana-mana. Ibu memandangi kalung pemberian ayahmu saat dijadikan mahar untuk pernikahan kami. Tadinya itu akan ibu simpan untuk kau nanti ketika sudah besar. Setidaknya menjadi kenang-kenangan untukmu, karena hanya inilah yang tersisa dari ayahmu ketika terakhir dia meninggalkan kita. Tetapi, ini pun harus ibu jual untuk pengobatanmu. Sekali lagi, maafkan ibu ya, nak.

Apakah kamu sudah benar-benar bermimpi anakku? Cerita ibu terlalu panjang ya? Tapi ini terjadi seakan sangat singkat. Terima kasih kau telah menemani ibu selama ini. Hari ibu didedikasikan untuk setiap ibu-ibu yang kuat untuk membesarkan anak-anaknya. Tetapi, tanpa adanya kamu anakku, ibu tidak akan bisa menjadi wanita yang kuat itu. Terima kasih anakku. Inilah hari kita..