Laman

Minggu, 27 Desember 2009

Ini Hari Kita Anakku


Jakarta, 23 Desember 2009

Anakku, anak yang kucintai. Yang baru saja pandai berjalan. Mungkin engkau belum mengerti apa yang dimaksud hari ibu. Hari ini setiap orang sedang mengucapkan terimakasihnya untuk ibu-ibu mereka. Tapi di hari ibu ini, aku yang mengucapkan selamat untukmu. Mungkin ini terdengar cukup aneh. Tapi ini kenyatannya anakku. Ibu akan berkisah tentang hadirmu. Ketika mengandungmu dulu, ibu sangat kepayahan. Sakit sekali wahai anakku. Tapi itulah awalnya.

Disamping kebahagiaan-kebahagiaan yang ibu rasakan, sering juga ibu menangis. Tahukah kamu, kamulah teman curhat ibu saat hari-hari ibu mengandung. Walaupunsedang berbadan besar, ibu setiap harinya mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Target ibu pada saat itu adalah menyelesaikan tugas akhir ibu untuk bisa mendapat gelar sarjana. Ibu ingin saat kamu lahir, kamu tidak terlahir dari wanita yang hanya lulusan sma. Biar kamu tidak dikucilkan oleh teman-teman kamu. Karena hanya itu yang bisa ibu lakukan untukmu. Saat kamu mulai membesar di perut ini, ibu mengajukan usulan masalah untuk skripsi ibu. Ibu berjalan langkah demi langkah menuju gerbang kesuksesan dan itu disertai kamu. Terkadang matahari menyorot langkah kita dengan terik. Terkadang pula hujan yang membasuh keringat kita. Dosen ibu pun sampai berkata, “Sudahlah nak. Kamu ambil cuti!”. Ibu masih tak gentar, namun pada akhirnya memang ibu ambil cuti hingga melahirkan kamu. Memang kamu pun sudah 9 bln di perut ibu.

Sepulangnya ke rumah, ibu tak bisa tidur sebelum mencarikan nama untukmu. Entah sudah berapa nama yang nyaris ibu rangkaikan untuk kelahiranmu. Hingga akhirnya ibu terlelap. Setiap malam ibu merasakan pergerakkanmu. Ternyata kamu gemar sekali bergadang, anakku. Ibu pun mengalah untukmu. Bagi ibu, tidak mengapa. Kamu pun sering ibu usik dengan tangisan-tangisan ibu. Keluh kesah ibu saat ibu menghadapi dunia. Saat ibu mengalami masa-masa yang kurang menyenangkan, bahkan sangat tidak menyenangkan. Menyakitkan! Maafkan jika ayahmu dari tadi belum terdengar. Ibu sulit memasukkan dia dalam cerita ini dari bagian mana. Ayahmu memang sepertinya menyayangimu dan ibu ketika itu. Tetapi dia tidak bisa selalu bersama kita. Entah apa yang dilakukan, mungkin satu dalam seminggu baginya cukup untuk menemani kita. Ibu masih ada sisa tabungan dari kakekmu sebagai uang jajan ibu ketika kuliah dulu. Tabungan yang sedikit demi sedikit menipis karena terakhir terisi ketika ibu menikah dengan ayahmu.

Apakah kamu tahu isak tangis ibu setiap malam? Bukan hanya malam, tetapi kadang pagi, siang, sore. Untung saja saat kamu terlahir bukan dari keadaan menagis. Yang menguatkan ibu pada saat itu adalah nenekmu. Wanita yang melahirkan ibu dan pada saat itu dia pun membantu ibu untuk melahirkanmu. Digenggamnya jemari ibu untuk memberikan energi agar kuat dalam bertaruh nyawa ketika melahirkanmu. Ibu mengambil nafas sedalam-dalamnya dan akhirnya ibu melihat sosok mungil yang selama ini telah menjadi sahabat ibu. Sosok mungil yang dari tangisannya yang nyaring seakan-akan memberi tahu ibu bahwa kamu adalah lelaki gagah yang akan menjaga ibu. Ibu sangat teharu, tetapi tidak bisa banyak bergerak. Perjuangan ibu belum berakhir, anakku. suster-suster itu sedang menjahit bagian tubuh ibu yang paling menyakitkan. Maaf, sekali lagi ayahmu tidak ibu sebutkan. Ayahmu datang ketika tujuh jam ibu sudah melahirkanmu.

Ternyata memang sulit untuk menyesuaikan diri ketika kau terlahir. Kini, ibu harus terjaga di setiap malam. Setiap jam kau terjaga untuk meminta air susu, belum lagi kau masih belum bisa mengganti popok sendiri saat buang air. Bisa terlelap selama dua jam saja rasanya sudah sangat cukup bagi ibu kala itu. Ibu tertidur tidak dalam keadaan terlentang. Ibu duduk sambil memangkumu di atas paha dalam keadaan terpejam. agar saat kau menangis, ibu tidak membiarkanmu berlama-lama mendapatkan susu. Kasihan jika kamu sampai menangis terlalu lama. Apalagi tidak ada tangan seorang ayah yang turut memangkumu atau membantu ibu menggantikan popok untukmu. Lagi-lagi ayahmu disebut belakangan. Dia jarang sekali bersama kita. Dari saat kamu melahirkan, dua bulan lamanya baru dia datang kembali. Sampai saat itu tidak terdengar lagi. Kadang muncul sejam dan itu terjadi 2 bulan sekali.

Mata ini sangat berat. Tetapi pikiran ibu yang lebih berat. Melihat tangan mungilmu yang tertancap jarum infus membuat ibu perih. Apalagi ketika kau menangis kesakitan ketika sakit itu muncul. “Masih ada ibu, anakku” bisikku. Disini aku terjaga siang dan malam untuk menguatkanmu. Walau pikiran ibu ketika itu sering kemana-mana. Ibu memandangi kalung pemberian ayahmu saat dijadikan mahar untuk pernikahan kami. Tadinya itu akan ibu simpan untuk kau nanti ketika sudah besar. Setidaknya menjadi kenang-kenangan untukmu, karena hanya inilah yang tersisa dari ayahmu ketika terakhir dia meninggalkan kita. Tetapi, ini pun harus ibu jual untuk pengobatanmu. Sekali lagi, maafkan ibu ya, nak.

Apakah kamu sudah benar-benar bermimpi anakku? Cerita ibu terlalu panjang ya? Tapi ini terjadi seakan sangat singkat. Terima kasih kau telah menemani ibu selama ini. Hari ibu didedikasikan untuk setiap ibu-ibu yang kuat untuk membesarkan anak-anaknya. Tetapi, tanpa adanya kamu anakku, ibu tidak akan bisa menjadi wanita yang kuat itu. Terima kasih anakku. Inilah hari kita..

1 komentar: