
Hujan membasuh muka dan badan dengan tipis-tipis. Tidak kencang tapi hembusan angin membekukan aliran darah yang mengalir. Dingin dan kaku, tetapi masih terlindungi oleh sesosok badan yang tegap di hadapanku. Tubuh dialah yang sesungguhnya melawan angin dan hujan, dan aku hanyalah terkena bayang-bayangnya. Tiba-tiba memori mendaratkanku kepada 19 tahun yang lalu. Ketika itu aku pertama kali pergi ke sekolah dasar. Ayah memboncengku dengan motor Vespa yang pada masa itu belum terkesan jadul (jaman dulu). Dia mengantarkanku hari pertama dengan wajah cerah. Wajahnya yang belum terlukis kerutan, bahkan bagiku dia adalah ayah yang paling tampan di muka bumi ini. Hari-hari berikutnya aku selalu diantakannya dengan kendaraan yang satu-satu dimilikinya itu. AKu tahu betapa bangganya dia memiliki motor Vespa itu. Hingga pada akhirnya dijual, motor itu masih sangat bagus karena ayah yang rajin merawat dan membawanya ke bengkel untuk di service.
Akhirnya ingatanku hijrah ke 14 tahun yang lalu. Aku sudah kelas 2 SMP. Setiap berangkat sekolah selalu di temani alunan lagu Bimbo. Aku memang tidak mempermasaalhkan selera musik ayah, karena aku pun menyukainya. Ayah mengantarkanku tidak dengan sepeda motornya. Dia sudah mampu membeli mobil, akan tetapi terhitungnya mobil tua. Setidaknya kami sudah bisa berpergian tanpa kehujanan dan masih kepanasan (AC-nya jarang hidup, namanya juga mobil tua..). Ternyata gadis kecil ayah ini sudah mulai meminta macam-macam. Sudah bisa menentukan berapa uang jajan yang dikehendakinya. Bahkan pada tanggal 14 februari sudah berani minta uang lebih untuk pergi nonton dengan teman-teman. Sejujurnya aku masih belum tahu apa itu valentine? Yang aku tahu valentine sedang heboh ditulis di majalah remaja langganan dan dibicarakan teman-teman satu sekolah. Saat berangkat sokelah biasanya aku menagih uang buku dan les (tentunya sudah di mark-up dari lima ribu atau sepuluh ribu rupiah. Usaha menambah uang jajan).
Pada akhirnya ingatanku sudah kepada 11 tahun yang lalu. Aku sudah kelas 2 SMA. Sang ayah masih mengantarkanku ke sekolah. Si gadis yang masih dianggap gadis kecilnya sudah banyak bertingkah. Sudah bisa membuat sang ayah dipanggil guru BP karena masalah bolos saat upacara, atau kena surat segel karena masalah baju yang tidak mengikuti aturan. Sudah mulai protes minta hand phone karena kebutuhan “pergaulan” dan bahkan meminta mobil bak membeli kacang goreng saja. Tidak memperhatikan sang ayah yang mulai menua dan semakin banyak di dera penyakit. Sang ayah adalah aktor yang pintar memainkan peran. Selalu menjadi badut untuk menyenangkan anak-anaknya. Menutupi penyakit yang dideritanya, menutupi jumlah hutang, hingga menutupi kalau dirinya mulai renta.
Waktu begitu cepat berlalu. kejadian demi kejadian dan peristiwa demi peristiwa telah datang dan pergi mengisi catatan harian keluarga ini. Sang ayah menangis ketika putri kecilnya harus benar-benar dilepas. Sang anak pun tak kuasa menahan sedihnya. Anaknya telah memiliki keluarga baru, yang tidak lagi memanggilnya disaat minta diantar kesana-kemari. Bahkan “gadis kecilnya” memberi “putra kecil” yang dijadika sang ayah pangeran barunya. Betapa hancurnya sang ayah ketika putri kecilnya harus mengalami cobaan berat. Putrinya harus memiliki keluarga yang tak sempurna dengan satu karunia yang dimilikinya, yaitu cucunya. Kali ini dia tidak tampak menangis, tetapi aku tahu dia lebih pilu dibanding tangisannya yang keluar saat putrinya menikah. Pada akhirnya putrinya kembali ke pangkuannya dan kembali seperti cerita sepuluh tahun yang lalu.
Hujan mulai deras, aku memeluk ayahnya dengan erat. Ketika pulang kerja, seperti biasa sang ayah menunggu sang anak turun dari bus kota selepas kerja dengan sepeda motor. Aku pun sudah bekerja. Tetapi ini tak seperti benar-benar seperti 10 tahun yang lalu. Tubuhnya memang sudah tua sesuai dengan usianya. Sebenarnya tidak begitu tua, karena ayah masih bekerja di perusahaan farmasi. Sang ayah sudah beberapa kali masuk rumah sakit. Bahkan sempat di vonis hanya bertahan hidup hingga usia tertentu karena kerusakan hati yang kronis. Penyakit asma yang akut pun menambah penderitaan sang ayah. Nafasnya sudah terengah-engah. Kerutan terlukis merata di wajahnya. Tetapi dia tetap tampan. Dia selalu kuat untukku dan keluarganya. Tetap menjadi ayah idola.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar