
Ini adalah suatu tulisan yang bagi saya tidak mudah. Karena ini bukan suatu khayalan atau replika, ini adalah kejujuran. Tapi saya akan berbicara karena ini PENTING untuk wanita-wanita lain seperti saya. Sebenarnya judul tulisan ini adalah: Mengapa saya memilih menjadi Single Parent?
Berawal dari melihat video clipnya Nidji berjudul dosakah aku. Menggambarkan ketulusan seorang pria dalam membela seorang wanita yang hamil bukan anaknya. Orang lain menggunjingnya mengatakan PENDOSA. Mereka menikah setelah wanita ini melahirkan namun karena sebelumnya sempat terluka karena "hukuman masyarakat" dan sang Pria lah yang menjadi Single Parent.
Ternyata single parent itu banyak sekali modelnya. Kalau saya menjadi single parent karena ingin menyelamatkan buah hati. Aneh,kan? Sesungguhnya dari dasar hati yang paling dalam, kalau anda tidak siap, jangan pernah menjadi single parent! Butuh kekuatan yang amat dasyat, baik fisik,mental,dan materi. Anda berjuang bukan lagi untuk diri anda, tetapi anak yang anda bawa. Jika tidak "berbekal" cukup, bisa-bisa manusia melakukan apa saja asal bisa bertahan. Saya memang setuju kita harus berjuang demi anak kita, tapi bukan melakukan APA SAJA. You have to control your self!!
Menjadi single parent memang bukan perkara yang mudah. Apalagi hidup di negeri timur yang masih terpaku norma dan nilai yang ada. Maka itu saya katakan tidak mudah. Anda harus bisa tetap terlihat menjadi manusia baik dari status yang pada umumnya menganggap anda buruk. Kita memang bisa mengatakan "Persetan dengan kata orang", karena mungkin kita lebih siap dalam kondisi seperti itu. Tapi bagaimana dengan sang anak? Mentalnya belum siap dengan kondisi yang diluar kenormalan. Belum siap menghadapi gunjingan yang terjadi. Saya akan melakukan apapun demi anak, termasuk membelanya mati-matian dari omongan dan tindakan yang menyakiti dirinya. Karena itu, saya harus lebih peduli dengan "Apa Kata Orang?" walaupun saya agak kurang menyukainya. Ya, kita hidup di bumi yang bukan milik kita sendiri. Karena kita hidup berbagi dan memang harus peduli.
Saya memang bukan manusia suci. Dosa saya mungkin sudah tak terhitung, tapi saya pun bukan yang hanya diam. Saya berusaha hingga detik ini menjadi yang lebih baik lagi dimata Tuhan dan manusia tanpa mengubah diri saya sendiri sebenarnya. Tapi tetap saja saya akan sulit memasuki kehidupan-kehidupan baru, terutama "menikah". Untuk mengerti definisi secara etimologi dan harfiah mengenai pernikahan anda bisa mampir ke http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan
Pernikahan bagi kita orang timur adalah bukan hanya penyatuan dua insan, tetapi adalah dua keluarga dengan masing-masing budaya menjadi satu dalam bentuk keluarga baru. Lagi-lagi dihadapkan dengan masalah keluarga. Orang-orang seperti saya (baca:single parent) nampaknya susah mendapat restu dari pihak orang tua pria. Saya tidak menyalahkan mereka, karena setiap orang tua memang inginkan yang terbaik untuk anaknya. Nampaknya saya agak mals menghadapi masalah baru. Karena perjalanan saya dari hari ke hari sudah kompleks akan masalah. Kembali ke pertanyaan: Mengapa saya memilih menjadi single parent? Jawabannya adalah karena saya tidak rela mendapat hinaan! Jujur saja, saya tidak rela terhina karena apa yang saya dapatkan sekarang, semua adalah hasil PERJUANGAN. Saya mencapai titik ini bukan dari sekedar memejamkan mata dan semua tararaappp...tring!!! Saya sudah berdarah-darah untuk ini. Mereka tidak pernah tahu akan ini. Maaf, anda jadi dipaksa untuk berwisata ke masa lalu saya. Inilah yang saya anggap perjuangan itu!
"Jangan khawatir, Mama akan melawan dunia untukmu!"
Anda tahu rasanya hamil? Anda tahu rasanya hamil di luar nikah? Dikala ini menjadi momok buruk bagi masyakat. Maaf, ini konteksnya berbeda dengan aborsi. Jika melakukan Aborsi, seseorang itu sudah melakukan pelarian dari kesalahannya. Urusannya tinggal nanti dia melakukan pertanggungjawaban dengan Tuhan. Saya tidak mengerti tentang Aborsi karena saya tidak mengalaminya, dan saya pun tidak pernah bisa terpikirkan untuk Aborsi. Saat suatu jiwa hadir dalam raga kita, semua telah melebur menjadi satu. Jiwanya dan jiwa kita. Disinilah naluri keibuan mulai tumbuh dan terdapat ikatan batin yang amat kuat. Akan tetapi situasi mengangap itu salah. Itu dosa, dan itu melanggar norma. Anda merasa sangat bahagia dan terharu bisa menjadi seorang ibu tetapi anda perlu membayar mahal untuk semua yang sudah anda lakukan dan yang ingin anda dapatkan. Saya pun bergetir menghadapi semua ini. Saya mengalami dilema yang sangat memusingkan, bahkan memualkan. Tetapi sya yakin saya akan mempertahankannya. Saya merasa adanya keinginan kuat darinya untuk hidup. Saya merasakan kekuatanya di dalam aliran darah ini, nafas, bahkan jantung ini. Saya sudah merasakan dia ada dan berkomunikasi dalam bahasa yang hanya kami sendiri yang tahu dan mengerti. Ibu mana yang tega mengorbankan anaknya?Di dalam tubuh wanita yang ketika itu tidak terlalu berdaya, tiba-tiba saya berbisik pada sang anak yang ketika itu masih dalam gumpalan darah: Jangan khawatir, saya akan melawan dunia untukmu. Mungkin banyak yang tidak mengerti. Mengapa saya berbicara sendiri? believe or not, ketika kita tahu ada suatu mahluk dalam perut kita dan meleburlah menjadi satu kejiwaan antara anda dan mahluk tersebut, anda sudah tidak lagi merasa sendiri. Bahkan dia bisa memberi respon walaupun masih dalam gumpalan darah. Ketika menangis, perut seakan-akan menjadi sedikit keram, ketika itu saya tahu dia mendengarkan dan menemani. Baiklah, saya akan tetap bertahan dan berjuang berdua bersama mahluk kecil ini.
Saya bukan orang yang lari dari masalah. Semua saya hadapi, hingga terancam terbuang dari keluarga yang amat sangat saya cintai. Keluarga yang penuh kehangatan dimana anda menjadi kebanggaan dari orang tua anda. Tetapi seandainya jika saya dihadapi oleh sebuah pilihan, saya tetap akan memilih anak ini. Anak ini memerlukan saya untuk bertahan, jika yang lainnya akan tetap bisa hidup walaupun tanpa saya. Situasi semakin sulit. Saya sadar saya memilih lelaki yang salah tetapi saya sudah terlanjur harus menikah dengannya. Pilihan yang amat sulit bukan? Anda rela mendapat tekanan dan ancaman setiap harinya oleh lelaki yang saat itu sudah anda benci. Benci karena terkadang bertingkah seperti "banci" yang lebih mudah menyerah dan memilih hal yang menurutnya lebih mudah dijalani. Tetapi lagi-lagi semua demi anak dalam kandungan. Saya hanya takut adanya pemaksaan saya harus melepaskan sang buah hati. Itu sama saja siksaan seumur hidup!
"Ya Allah,jika detik ini nyawa hamba kau ambil, hamba rela."
Hopeless, tidak bisa berpikir, bahkan ketika itu merasakan saya mati rasa. Tidak ada gairah, tidak bisa membayangkan masa depan, mematikan cita-cita, semua mati. Merasa seperti mayat hidup. Sampai-sampai berkata:"Ya Allah,jika detik ini nyawa hamba kau ambil, hamba rela." Satu-satunya yang membuat saya tetap hidup adalah janin ini. Dialah masa depan saya. saya tidak bisa membayangkan masa depan selain membayangkannya lahir. Kami sudah menjadi satu kesatuan. Dan jika ada pilihan melepaskannya sama saja melepaskan nyawa sendiri.
Putus asa! Merasa berada di titik paling bawah dan gelap. Semua seperti berkabut. Hanya ada sesuatu yang membisikkan, setiap masalah ada penyelesaiannya. Jika saya bisa melewatinya, saya sudah melewati satu ujian yang diberikan Allah. Karena menganggap tak ada satupun yang akan bisa menyelesaikannya, saya menyerah. Saya hanya berserah diri kepada Tuhan YME. Setiap hari hanya berdoa dan berdoa. Mukena ini tidak pernah lepas dan selalu basah karena tetesan air mata yang sudah seperti mata air yang mengalir dengan sendirinya. Subhanallah, atas Mukjizat yang diberikannya akhirnya saya bisa menghadapi semuanya. Tiba-tiba semua mengalir walaupun saya hadapi dengan masa-masa sulit. Saya tidak mengatakan bahwa semua tanpa penderitaan, tapi saya mengalami banyak penderitaan namun berhasil melalui itu semua.
Sekedar Formalitas?
Lalu mengapa saya bercerai? Apakah saya menikah karena formalitas? jelas jawabannya adalah BIG NO!! Formalitas berarti hanya mengandalkan diatas kertas. Tetapi yang sya alami adalah saya ingin membuka lembaran baru dan hidup lebih tenang. Saya sudah berusaha untuk mempertahankan hingga titik yang saya mampu. Saya mengikuti kemauan suami untuk tinggal di rumah orang tuanya. Padahal dari rumahnya hingga ke kampus saya, sama saja seperti Bandung-Bekasi lamanya. Saya sedang menyelesaikan Study S1 saya, maka itu perlu intensitas ke kampus yang lebih sering. Minimal pasti saya harus ampir ke perpustakaan untuk mencari bahan. Keadaan perut mulai membesar. Sang suami jika ada pekerjaan, meninggalkan saya bisa dari 2 hari hingga seminggu. Saya mencoba mengerti dengan profesinya kala itu. Walaupun merasa banyak keganjilan setiap harinya. Saya sudah menikah dan saya benci perceraian. Saya akan menerima apapun dirinya karena itu adalah pilihan yang sudah saya ambil. Setidaknya sang anak pasti membutuhkan ayahnya.
Tetapi ternyata semua tidak seimbang. Saya terlalu bnayak berjuang sendiri. Saya pun lelah. Masa kehamilan telah lewat, saya melahirkan dengan suami yang baru datang 6 jam setelah melahirkan. Kemudian datang lagi 2 bulan kemudian. Saya sudah mengajak untuk diskusi, meyelesaikan semua ketidakwajaran yang terjadi dalam pernikahan. Tampaknya dia sulit untuk diskusi. Semua dia serahkan kepada saya sendiri keputusannya. Saya bukan orang yang tanpa usaha! Apalagi coba yang tidak saya korbankan? Kehidupan pasca melahirkan yang ternyata sangat berat. Jangan bermimpi bisa tidur nyenyak dan hanya bermain-main dengan sang buah hati. Saya agak bermasalah juga ketika menyusui sehingga berkali-kali demam. Tidak ada saat dimana saya bergantian dengan suami untuk menjaga si buah hati atau berbagi pekerjaan rumah dengannya. Dia tidak ada ketika saya mengalami masa ini. Lalu dia dimana?
Saya pun terasa seperti tertusuk dari belakang ketika mendengar suatu berita yang tidak enak sekali mendengarnya. Ternyata sang suami sering keluar malam, mabuk, dan bersama wanita. Walaupun ketika itu memang saya sudah akan berpisah, tetapi tetap saja ini tidak adil. Dikala saya menghadapi segalanya sendiri, berjuang dan ertaruh nyawa, tetapi apa yang saya dapat? saya tidak mendapat support materi, apalagi moril, tetapi saya merasa tidak dihargai sebagai wanita. Tetapi saya tidak akan bertindak bodoh dengan tindakan-tindakan kasar atau caci maki. Tetap tenang walaupun di dalam ini sangat bergejolak. Sebenarnya sakit hati ini adalah untuk sang anak. Saya sakit hati dia tega menyakiti bayi yang masih merah ini, dan dia malah membalas kami dengan ini. Dia menyakiti kami, yang sudah berjuang untuk tetap bertahan dengan dirinya. Lalu inikah yang orang anggap hanya formalitas?
Awan:Indah dilihat namun sulit digapai..
Kini saya sudah bangkit lagi. saya tidak boleh sekalipun terpuruk karena nasib sang buah hati sekarang hanya ditangan saya seorang. Saya sudah lulus dengan gelar S1 ditangan, dan pekerjaan walaupun masih dalam proses merintis. Sudah mendapat seseorang yang menyayangi saya yang sangat tulus. Walaupun saya terbentur suatu masalah. Ya, lagi-lagi masalah. ternyata status seperti saya kurang diminati oleh sebagian besar orang tua. Apalagi jika permasalahannya menyinggung tentang anak. Sangat sensitif untuk orang-orang seperti saya. Saya tidak ingin terbuai dengan permasalahan cinta. Anak saya adalah hasil perjuangan yang sudah dihasilkan dengan berdarah-darah. Tidak mungkin saya mengorbankannya. Saya tidak boleh egois dan terbuai oleh masalah cinta. Mungkin saya memang harus mati rasa. Tapi tetap saja saya wanita, dan saya manusia, ingin juga hidup harmonis seperti lainnya. Siapa yang tidak ingin menikah dengan suatu pesta, bulan madu, hidup dengan suami dan anak-anak? tetapi menikah bagi saya seperti AWAN. Indah dilihat tetapi tak mampu tergapai. Tetapi saya tetap menyukai keindahan. Jika memang dengan melihatnya sudah merasa indah, mengapa tidak?
...
Lalu masihkan Single Parent dianggap sebelah mata? Seseorang yang sudah memperjuangkan dirinya dan anaknya sendiri hingga titik darah penghabisan. Tidak pernah lari dari masalah karena semua dijalaninya walaupun harus terseret-seret. Dan tetap saja harus menghadapi penolakan. Dan tulisan diatas hanyalah sepertiganya yang saya alami. Mungkin perlu berlembar-lembar dan melewati batas privacy. Ini saja saya mencoba menahannya untuk tidak menangis, walau agak sedikit gagal. Semua karena membuka sedikit masa hitam, dan itu tidak mudah. Walaupun saya hanya membuka sedikit saja dari rangkaian cerita sebenarnya. Jadi, kembali ke pertanyaannya, mengapa saya memilih tetap menjadi Single Parent? jawabanya karena saya tidak rela dihina. Karena kehidupan yang saya alami saat ini adalah proses perjuangan! (air mata, pengharapan, pengorbanan, perjuangan, perlawanan)
we love u mommy.. :*
BalasHapuslove u too =*
BalasHapushttp://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/11/kpk-setya-novanto-sudah-pemeriksaan-mri.html
BalasHapushttp://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/11/kisah-asmara-dengan-pacar-saat-aku.html
http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/11/mengajak-cewe-yang-naksir-padaku-untuk.html
http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/11/warga-sandera-di-papua-cerita-kekejaman.html
Tunggu Apa Lagi Guyss..
Let's Join With Us At Dominovip.com ^^
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
- BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
- WHATSAPP : +62813-2938-6562
- LINE : DOMINO1945.COM
- No Hp : +855-8173-4523
smangat terus moms
BalasHapusMom, boleh berbagi cerita ? Aku punya pengalaman yg sama namun sedikit berbeda. Dan skrg aku udh 7 bln dengan keadaan sendirian:')
BalasHapusAq 5 tahun sendiri baru menikah dengan orang lain... Siap mental mak terutama administrasi. .
Hapus